Showing posts with label Fiksi Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Fiksi Sejarah. Show all posts

Nov 26, 2018

Puncak Gunung Mahawu menurut ajaran Leluhur Minahasa gunung adalah tempat turunnya Para Malaikat. 

Sejarah dibagi atas 2 jenis:
1. Sejarah Versi Buku: Dapat ditambahkan dan dikurangai berdasarkan Analisa dan Pemikiran Sang "Penulis"

2. Sejarah Alam Sulit ditambahkan atau dikurangi karena tulisannya menggunakan huruf Aksara Tana Malesung baik yang terdapat di Wale Watu,  Goa Watu, Watu Tomotowa, Watu Kadera, dll.

Dan hal yang paling penting Rahasia Kekuatan Tuur In Tana tidak pernah diekspos dan dipublikasikan secara lengkap. Saya sendiri hanya berani bercerita yang bukan rahasia dimana pengetahuan ini memang sudah di catat oleh Spanyol, Portugis, terakhir Belanda dan sekutu yang disimpan sebagian dalam Gereja. Namun pengetahuan ini karena belum banyak orang Torang yang mengetahui maka saya ceritakan dan publikasikan di Internet agar bukan hanya menjadi catatan Rahasia bangsa asing atau simpanan rahasia organisasi keagamaan.

Pada jaman dahulu kala ditugaskan para Malaikat oleh Amang Kasaruan untuk mengamati/mengawasi Bumi. Amang Kasuruan adalah Tuhan pencipta bumi yang bertahta di Surga, berkuasa atas bumi sehingga disebut Kasuruan Wangko untuk berhubungan dengan dia manusia saat itu hanya bisa lewat para Walian, sehingga Dia disebut pemimpin para Walian disebutlah Dia Opo Walian Wangko.

Opo disini adalah panggilan akrab para manusia dahulu kepada penciptanya, seperti sekarang umat Kristen memanggil bapak kepada penciptanya. Opo sendiri adalah sebutan untuk kakek leluhur Minahasa untuk nenek disebut dengan Apo. Sehingga kita sering mendengar Opo-Apo karena lebih sering kepada sosok maskulin(kakek) maka penyebutan menjadi Opo-opo ketika untuk mengormati leluhur. Namun ketika masuknya agama barat maka sebutan Opo-opo dianggap sesat karena meminta kekuatan pengetahuan diluar sebutan bahasa dalam agama mereka sehingga Opo-opo sudah memiliki arti lain dari makna sebenarnya.


Manusia dahulu memanggil Amang Kasuruan dengan sebutan akrab Opo Wananatase, Opo yang ada diatas, leluhur para leluhur pencipta langit dan bumi para leluhur. Sehingga ada pula yang menyebut Opo Empung yang berarti maha besar.

Feb 11, 2016

Watu Tumou - batu bertumbuh di Watutumou, Maumbi.

Batu ini terdiri dari dua batu besar yang masing-masing memiliki batu kecil di sampingnya yang disebut sebagai 'batu anak' (watu toyaang/Watu Ko'ki). Batu besar menyerupai alat kelamin laki2 sebagai 'batu laki2/ayah' (watu tuama/amang/Tuama Se'la) dan batu besar ceper mirip mezbah sebagai 'batu mama/ibu' (watu wewene/inang/Wewene Se'la). Antara kedua batu ini berjarak sekitar 75-100 meter.

Aug 9, 2015

Berkas:PrasastiPinawetengan.jpg

Minahasa (dahulu disebut Tanah Malesung) adalah kawasan semenanjung yang berada di provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Kawasan ini terletak di bagian timur laut pulau Sulawesi. Minahasa juga terkenal akan tanahnya yang subur yang menjadi rumah tinggal untuk berbagai variasi tanaman dan binatang, darat maupun laut.

Terdapat berbagai tumbuhan seperti kelapa dan kebun-kebun cengkeh, dan juga berbagai variasi buah-buahan dan sayuran. Fauna Sulawesi Utara mencakup antara lain binatang langka seperti burung Maleo, Kuskus, Babirusa, Anoa dan Tangkasi (Tarsius Spectrum).


Oct 12, 2013


Dikisahkan bahwa suatu hari kapal yang membawa Sawerigading sepulang dari perjalanan ke tanah China untuk mengawini tunangannya We Cudai berkunjung ke laut kaili. 

Saat itu di tanah kaili terdapat beberapa kerajaan lokal yang berdaulat mulai dari Banawa, Bangga hingga Sigi. Setelah berkunjung ke Ganti, ibu kota kerajaan Banawa, Sawerigading berlayar ke arah selatan menuju pantai negeri sigi-pulu, dalam wilayah kerajaan sigi. Perahu Sawerigading berlabuh dipantai Uwe mebere, yang sekarang ini bernama Ranaromba.

Sep 12, 2013

Masa lampau Indonesia sangat kaya raya. Ini dibuktikan oleh informasi dari berbagai sumber kuno. Kali ini kami akan membahas kekayaan tiap pulau yang ada di Indonesia. Pulau-pulau itu akan kami sebutkan menjadi tujuh bagian besar yaitu Sumatera, Jawa, Kepulauan Sunda kecil, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Papua.

Sumatera – Pulau Emas

Dalam berbagai prasasti, pulau Sumatera disebut dengan nama Sansekerta: Suwarnadwipa (“pulau emas”) atau Suwarnabhumi (“tanah emas”). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Sumatera juga dikenal sebagai pulau Andalas.

Jul 14, 2013

B Owl Pentacle Makarua Siouw (rua = dua, siouw = Sembilan)
Pemerintahan purba dinamakan Makarua Siouw (2X9), dan nama-nama 18 leluhur kelompok
  1. MANDEI, seorang prajurit petani dengan istrinya rawenbene serta anak lelakinya adalah PORONG PUREKET, LINEMOUW UMBENE, NGIRI NGIRIAN, KASO’ON, dan RORONG KERE ; pergi menetap di Lomparen
  2. PINONTOAN adalah prajurit petani pandai besi dengan istrinya KATI AMBILINGAN, dan anak lelaki, RARANG PONGAYOW, TUMUNDO, WORANG WATA, TU’AH dan anak perempuan WARANGKIRAN dan WINURONTON, mereka menuju kaki gunung lokon.
  3. RUMENGAN, seorang prajurit petani pandai besi. Istrinya katiwey, serta anak laki laki TOTOKAI, WALASENDOW, MASININDENG, SININDENGAN, anak perempuannya, KOURENSIA bersuami PANGERAPAN dari tg.Pulisan mereka menetap di Mahawu.
  4. MANARANGSANG, seorang ahli bertani pemimpin upacara persembahan kurban ; istrinya bernama WINENE’AN mempunyai 11 anak.
  5. KUMIWEL, seorang pria berperangai pemarah, dukun obat penyakit : istrinya bernama PAI’IZANGEN, beranak lelaki MENANAKUL, MAMISAN dan MENGANGALUK ; pergi menetap di Kurangan dekat Tula’u Sarongsong
  6. LOLOLING banyak akal, ahli ramuan tanaman. Loling (artinya telinga babi); istrinya bernama RINEROTAN, anak lelakinya bernama LOKON WOROTIKAN, dan anak perempuan bernama INAMUZAN dan TUMAMIEY ; pergi menetap di wilayah Muung, Tomohon
  7. MAKALIWEY, juga di sebut dewa pohon enau; keluarganya pergi ke wilayah yang sekarang bernama mangondouw dan turunannya SUAWA pergi di suatu tempat yang bernama gorontalo
  8. MANGALU’UN (Kalu’un  artinya upacara tarian Sembilan orang gadis), Tukang kayu ahli membuat perahu, juga di sebut PANDEI LONDEI; istrinya bernama PINU’PURAN,  anak lelakinya RAWUNG PONTOH dan MANIKOLOR, pergi menetap di tewasen amurang.
  9. MANAMBEKA (dewa angin utara), pemimpin upacara membuat api unggun dengan kayu bakar sembeka, kayu bakar di tepi pantai; istrinya bernama WINENE’AN, beranak MANGANGIRON, menuju pantai utara minahasa Likupang sampai P.Siauw.
  10. MANAMBEANG (dewa angin timur) ke pantai timur minahasa
  11. MANAWA’ANG (dewa angin selatan) menuju selatan gunung wulur mahatus. Tawaang adalah pohon tanda batas tanda wilayah; anak dan istri tidak diketahui
  12. MANALEA (dewa angin barat) menuju pantai Barat Minahasa dan menetap di Tanawangko, anak dan istri tidak diketahui
  13. TOTOKAI, sebagai panglima perang seluruh jasirah Minahasa. Hanya dia yang boleh menggunakan hiasan daun-daunan seperti tawaang, ririndeng, werot, dana sarayar dibadannya; istrinya bernama TOMBARIAN, anak lelakinya PORONG SULING, SUMANTI, dan PORONG TOTOKAI; keluarga ini berkedudukan di Senduk Tanawangko.
  14. TINGKULENDENG, ahli bunyi bunyian, seperti mendengar arti bunyi burung, ahli bangunan kayu, dewa music kolintang kayu, beristri WOWORIEY, anak lelakinya SOKO, TUMEWANG TUMEWAS, TUMERUNG dan PANGKEY. Keluarga ini menetap di Woloan di kaki G.Lokon
  15. Soputan, berperangai galak, ahli pandai besi. Istrinya bernama PARIWUAN, anak lelakinya semua pandai besi, yakni LUMA’AK WATU, MENGKU ENGKU, RUMIKELUNG, TUMONGKO RERIS, LUMENGDENG WATU, WATU LUMAYAS, dan TUPA’LANGIT ; anak perempuannya KAWERUAN dan KATIMBAWAN ; mereka menuju ke gunung yang kemudian di namakan SOPUTAN.
  16. MAKAWALANG, ahli berburu babi hutan dan sapi hutan (anoa). Namanya berasal dari kata Kewal (artinya rotan) ; istrinya bernama TARETINIMBANG, anak lelakinya bernama KAPU’NA WURI dan KAPUNA PUNTI, anak perempuannya SALAMERO dan TOULAHUNUI. Keluarga ini memilih tempat tinggal di dalam sebuah Gua di kaki Gunung Mahawu
  17. WINAWATAN, suka memimpin peperangan ; istrinya bernama MANGINDANAUWAN, anak lelakinya semua prajurit perang : DAKIAN, SUMANTI, TINURAS, MANEMBIR, dan TONDEIWARONGAN, keluarga ini memilih tinggal di Paniki
  18. KUMAMBONG, pemimpin upacara agama purba yang suka mengembara ke pulau-pulau Nusa Utara. Mempunyai dua orang istri yakni MONGILAUWAN dan INAWATAN; anak lelaki dari INAWATAN bernama ROYOR dan RO’OR ; bertempat tinggal di pantai Tondano sekitar atep, kapataran.



Pulau-pulau kecil antara Sulawesi dan Filipina didiami oleh kelompok masyarakat yang bernama Suku Sangir (Sangihe) Talaud.


Tokoh masyarakat Sangihe Talaud menuturkan bahwa suku Sangihe Talaud dulunya merupakan beberapa kelompok pendatang yang menjadi satu suku yang bernama Sangihe Talaud. Suku-suku pendatang tersebut ialah  Apapuang yang konon ceritanya berasal dari Bangsa Negrito, Saranggani, Mindanao Selatan, daratan Merano, Mindanao Tengah,  Kepulauan Sulu (sebagian kecil adalah raksasa), dan yang terakhir Kedatuan Bowentehu dan Manado Tua, di mana ras ini berasal dari Molibagu (Bolangitam).

Sep 3, 2012

Pada waktu sekelompok leluhur masyarakat Bantik asal Selatan tumani dan bermukim di suatu tempat yang bernama Kaho (selokan Tirang) antara Maumbi dan Kairagi, mereka kemudian pindah ke Pogidon Wenang) dan selanjutnya bergerak kearah Utara, dan tumani di Singkil, Bailang, Buha, dan Bengkol. Dalam kelompok ini, terdapat sepasang suami-istri tanpa memiliki keturunan yang pekerjaannya sehari-hari sebagai Balrian Lramo (Walian besar=tukang mengobati secara tradisional).

Suami bernama Tolrombiga dan istrinya bernama Hagi. Keduanya sangat terkenal sebagai ahli pengobatan tradisonal (makatana) apalagi sebagai Biang (bidan yang menunggui dan mengurus kelahiran seorang bayi) yang terkenal di kalangan masyarakat Bantik. Bila ada orang yang datang memanggil Hagi untuk menolong orang melahirkan maka Hagi selalu berkata pada sipemanggil itu: kembalilah lebih dulu dan nanti disusulnya.

Tapi anehnya, Biang Hagi akan selalu tiba lebih dulu sebelum sipemanggil tiba dirumah orang yang akan melahirkan itu. Rupanya suami-istri ini mempunyai banyak sahabat sosok halus sebagai penolong dalam menjalankan tugas mereka sebagai Balrian Lramo.

make up6Pada suatu hari, Hagi kelihatan hamil dan datanglah sosok halus kepada Tolrombiga dan meminta agar, bila anaknya lahir agar anak itu diberikan kepada sosok halus tadi untuk dipeliharanya, sang suami tidak keberatan. Setelah genap usia kandungan Hagi, lahirlah laki-laki yang hanya tangisnya saja yang kedengaran tapi bayinya sudah tidak ada lagi, dan mengertilah sang suami bahwa anaknya sudah dijemput sosok halus tadi.

Akan hal Hagi bila ada orang bertanya mana anaknya maka Hagi menjawab bahwa ia mengalami keguguran (kinadaen) dan bayinya hilang. Konon bayi itu dipelihara sosok halus dengan diberi makan jantung pisang tanduk (sejenis pisang yang buahnya besar-besar, berbentuk tanduk kerbau) oleh sebab itu jika melihat jantung pisang tersebut, keadaan seperti dicakar-cakar kuku, kata orang karena dicakar sosok halus tadi bila membuat makanan bayi tadi. Konon kebiasaan orang Bantik bila ingin melihat makhluk halus, carilah pohon pisang tanduk yang jantungnya hampir keluar dan tunggulah dibawah pohon itu.

Bila sosok halus datang mengambil makananya, niscaya akan bertemu dengan sosok halus, asal berani untuk bertemu menemuinya, apalagi berada dibawah pohon itu dan kedengaranlah tangisan bayi maka pasti akan bertemu dengan sosok halus. Disitulah anda boleh berdialog dengan sosok halus dan boleh memohon atau meminta sesuatu. Sudah tentu sosok halus itu akan mencobai anda lebih dulu setelah anda tahan uji atas cobaan itu barulah pinta anda akan terkabul.

Demikianlah anak itu dipelihara oleh sosok halus sampai menginjak masa remaja umur 18 tahun, lalu dikembalikan kepada ibu-bapanya di Buha dan diberi nama Matansing berasal dari kata Tumansing meloncat tinggi/seperti terbang). Selanjutnya dalam umur 20 tahun, Matansing turut mengambil bagian dalam perang Banten.

Ceritra rakyat tentang Matansing berlangsung pada tahun 1770-an, dimana masyarakat Bantik yang mendiami kawasan Benang (Wenang) dipimpin oleh Kepala Walak Abuthan. Kisah ini terjadi pada jaman kolonialisme Belanda menguasai tanah Minahasa dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Tatkala kepala balak Bantik Abuthan sedang memimpin kelompok masyarakat Bantik di Wenang, tersiarlah berita bagaimana orang-orang Banten di pulau Jawa mengangkat senjata melawan Kompeni Belanda.Huru-hara pemberontakan rakyat Banten sangat menggegerkan Batavia yang waktu itu dipimpin oleh Gubernur-Jenderal Riemsdyk.

Secara masal rakyat Banten mengangkat senjata dan lakukan serangan atas pos-pos tentara kolonialisme di Batavia. Pemerintahan Riemsdyk terganggu karena tentara Belanda jumlahnya sangat kurang dan tidak dapat mengimbangi perjuangan rakyat Banten. Maka pemerintah Belanda di Batavia menyurat pada koleganya di Ternate dan Minahasa untuk meminta bantuan dari warga masyarakat yang ada di sana.

Dijejakilah bantuan dari Ternate dimana di sana juga terdapat sebagian tentara Belanda dan warga setempat dimana mereka diminta datang berkumpul di Pogidon (Wenang) untuk kemudian berangkat bersama ke Pulau Jawa dengan armada laut. Di Minahasa bantuan terutama dikerahkan dari orang-orang Bantik yang berdomisili di Tomohon dan Tondano. Yang di Tondano dipimpin oleh Tonaas Sigaha (Sigar) dan di Tomohon dipimpin oleh Tonaas Dotulong.

Kepala balak Abuthan selaku pemimpin masyarakat Bantik di wilayah Wenang, segera meresponi permintaan kolonial Belanda di Wenang dengan melakukan plakat di beberapa negeri orang Bantik yang terdapat di: Titiwungen, Singkil, Bailang, Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Molas, Meras, Malalayang, dan Bahu. Mereka bersedia dan menyatakan kerelaan untuk mengambil bagian dalam perang Banten tersebut, yang sebetulnya merupakan siasat kaum penjajah untuk mengadu-domba masyarakat pribumi.

Tersebutlah seorang laki-laki bernama Matansing dari negeri Buha datang menghadap kepala balak Abuthan. Setelah Abuthan bertanya perihal kesanggupan dan kebolehannya, maka Matansing menjawab: Ia Po ada tumondo Mabukuan galrete be mabei, age nu pai pinakou” (artinya: kalau saya pergi ke medan laga, selalu kembali dengan kemenangan dan membawa bukti atas kemenangan itu). Dengan demikian Matansing salah seorang pendekar Bantik yang akan berangkat ke pulau Jawa untuk turut berperang membantu Belanda dan bantuan dari Ternate, Minahasa dan Bantik telah musta’id semuanya berkumpul di Wenang dan jumlahnya 3000 (tiga ribu) orang pimpinan bala bantuan itu ialah Tonaas Sigar dan Dotulong yang terkenal sangat pemberani.

Pengaturan persiapan selesai dan pasukan dipersilahkan naik ke kapal untuk berangkat. Selesai diadakan apel maka berlayarlah kapal-kapal itu dengan haluan pertama pulau Manado Tua, tiga hari dalam pelayaran dan pada hari keempat, anehnya..... kapal-kapal itu kembali berlabuh di pelabuhan Wenang. Setiba di pelabuhan Wenang kepada pasukan ditanyakan oleh nahkoda kapal, siapakah di antaranya melupakan sesuatu di rumahnya.

Masing-masing segera berdiri dan mengacungkan tangan sambil mengatakan bahwa sayalah yang melupakan sesuatu itu. Setelah ia melapor untuk pergi sebentar kerumah, waktu itu masih keadaan pagi jam anak-anak pergi sekolah.

Gaiblah ia, hilang dari pandangan mata mereka. Patut diakui oleh orang-orang Bantik karena peninggalan riwayat pedangnya pun masih ada di negeri Bengkol pada cucu, cece, cicit, buyutnya pusaka kesaktian membuktikan ini. Beberapa lama antaranya pada jam makan siang hampir tengah hari tiba-tiba bergetarlah kapal yang tadi-tadinya ditumpangi Matansing yang berada di atas kapal, ditangannya terpegang sebuah bungkusan Kumunou (daun woka) dan sebuah Lrimpudong (sosiru) lalu melaporkan pada nahkoda kapal siap sudah ada di tempat, bertanya Kapten Nahkoda Kapal. Apakah yang kau bawa itu? Jawabnya ini ada tempat makan pinang. Yang terbungkus daun woka itu, perangkat empat sirih pinang sebagai biasanya yang dipakai oleh orang Bantik bila akan makan sirih.

Keberadaan kembali Matansing di atas kapal, berarti saat keberangkatan sudah tiba. Maka berangkatlah armada Belanda dan bala bantuan itu.
 
Angin kencang dari belakang menyebabkan layar kapal-kapal itu berkembang dengan megah. Semalam-malaman, siang dan paginya mereka berlayar dan tiba di pelabuhan Donggala pagi hari. Kapal-kapal berlabuh untuk mengambil air minum (air tawar) di darat. Setelah diketahui oleh Matansing bahwa maksud kapal-kapal itu singgah di pelabuhan Donggala hanya karena untuk mengambil air tawar, maka turunlah Matansing melalui tangga kapal dengan membawa nyiru yang dibawanya dari rumah tadi. Dikoyakkannya bagian dalam nyiru itu dan dicelupkannya bagian kaki dalam nyiru ajaib itu yang tinggal lingkaran rotan bagian luarnya saja. Maka terjadilah keanehan di pelabuhan Donggala! Air laut dalam lingkaran rotan itu menjadi air tawar. Ramailah seluruh petugas kapal menimba air tawar untuk mengisi tong pada kapal masing-masing, sesuai kebutuhan dari lingkaran rotan ajaib itu. Pelayaran dilanjutkan beberapa lama, dalam pelayaran masuklah mereka di pelabuhan Serang (Banten) dengan selamat dan berkat.
 
Pada saat itu pelabuhan Banten bergelora sangat hebatnya sehingga pendaratan dilakukan dengan menggunakan sekoci-sekoci pendarat. Oleh karena di darat telah berjaga-jaga pasukan Banten, maka perang besar tak terelakan lagi. Serta merta perang besar terus berkecamuk dan berkobar sangat hebatnya. Bunyi tembakan, tetakan pedang, baku potong dan baku bunuh sudah tak terkendalikan lagi. Bagian perang yang dahsyat berlangsung antara tahun 1775-1780. Bagaimana dengan Matansing, ia ketinggalan dan masih berada di atas kapal, ia menjadi gelisah, hilir mudik di atas kapal.
 
Ia segera mengambil keputusan dengan berdiri siap masuk ke mulut meriam kapal. Tatkala meriam berdantum dengan arah tembakan kedarat......... gaiblah pula ia pada saat genting itu.

Alkisah menurut cerita ia melayang bersama peluru meriam tadi, terbang dan jatuh di atas mahligani istana tempat bersemayam Raja Banten, sesampai di istana Matansing menjumpai pengawal Raja Banten yaitu tujuh orang laki-laki bermuka sangat menyeramkan mempunyai anting atau bertopeng seperti babi hutan besar, jadi Matansing harus berhadapan lebih dulu dengan para pengawal itu sebelum tiba pada Raja.

Pada saat itu melayanglah Matansing ke atas pohon aren dan duduk di atas pelepahnya hingga bergegerlah bumi karena tumbangnya pohon itu. Semuanya lalu menjadi gempar. Dari situ ia melayang ke pohon padi lalu duduk diatas butir buahnya berayun-ayun bersama tiupan angin. Selesai berayun di atas pohon padi itu sambil menyenangkan hatinya, melompatlah ia langsung berhadapan dengan ketujuh pendekar itu dan terjadilah perang satu lawan tujuh dengan seru dan seramnya. Matansing bertarung sambil melayang kian kemari di udara. Konon, pada akhirnya tewaslah ketujuh pengawal Raja tadi, terpisah kepala mereka dari badannya masing-masing.
 
Matansing segera menuju kepada Raja Banten didapatinya Raja sedang tidur nyenyak di tempat peraduannya. Tatkala Raja membuka mata, alangkah terkejutnya Raja dengan segera Matansing mencabut pedangnya dan tombak diayunkan sekali tepat kena leher Raja. Maka tewaslah Raja pada saat itu juga. Sebagai bukti kemenangan oleh Matansing kumis dan janggutnya serta kuku Raja, dikeratnya dan diambilnya untuk dibawah pulang. Selesai mengambil barang bukti itu, Matansing gaiblah dari kamar peraduan sang Raja itu. Tiba diluarnya dilihatnya ternyata perang telah berakhir.
Laskar Banten kalah dan Belanda menang.

Pendekar Sigar diberi pangkat Mayor dan pendekar Dotulong diberi pangkat Letnan-Kolonel lengkap dengan senjata dan pakaian kebesaran. Mereka yang masih hidup kembali ke Wenang setelah menjalankan tugas membantu Belanda berperang dengan Banten. Sebagaimana kita pelajari dari sejarah, bahwa perang Banten itu di kobarkan oleh KYAI TAPA dan Ratu Bagus Buang dan diteruskan oleh Sultan Abdul Nazar, Muhammad Arif, Zainul Asyikin tahun 1752-1780 Adapun cerita Ambon bahwa yang turut berperang dan mengalahkan Raja Banten adalah Kapitan Jongker yang namanya termasyur itu.
 
Kembali tentang Matansing sesampainya di Wenang ia langsung menghadap Kepala Balak Abuthan dan melaporkan kemenangannya sambil membawa bukti berupa janggut, kumis, serta kuku Raja yang dikalahnya sebagaimana yang telah diceritakan tadi. Percayalah Abuthan atas kebolehan Matansing, ia dibawa oleh Abuthan menghadap Residen TANROLF. Oleh Residen Tanrolf, Matansing diberi hadiah dan piagam ditulis atas kertas kulit yang berbunyi: selama penjajahan Belanda di Minahasa, maka anak-cucu dari keturunannya bebas dari pungutan uang sekolah kalau mereka bersekolah.

Kemudian Matansing kembali sebagai petani dan berkebun di antara negeri Singkil dan Buha (disuatu tempat yang disebut kelapa lima). Sekali peristiwa datanglah seorang putra Raja Sulawesi Selatan, Bugis bernama anak Raja HASSANUDDIN menumpang kora-kora bersama anak buahnya. Ia datang memamerkan ketangkasan, kesaktian dan keajaibannya dan ingin mencari lawan, siapa kalangan di Utara Sulawesi ini yang sanggup menandinginya. Untuk menguji kesaktiannya diwujudkan dalam mengadu ayam sabungan.

Maka kedatanganlah berita kedatangan tamu-tamu ini kepada Matansing yang segera ingin dengan mengadu ayam sabungan lebih dahulu. Ayam sabungan anak Raja Bugis berbulu hitam berkaki hitam sedangkan ayam jago milik Matansing berbulu putih sampai kakinya. Persabungan yang seru dimulai dan semua orang Bantik datang menonton
.
Begitu serangan kedua ayam sabungan itu bersiaga dan akhirnya…….. menanglah ayam sabungan milik Matansing. Putra Raja dari Sulawesi Selatan berseru: “Ayam sabungannya yang kalah belum tentu orangnya kalah” Matansing naik dan keduanya menyiapkan diri untuk bertarung, duel maut satu lawan satu keduanya bermufakat dan tempat yang akan dijadikan arena laga ialah lembah diantara gunung Bantik dan gunung Tumpa (Tumumpa). Karena keduanya sama saktinya maka duel maut itu banyak berlangsung di udara. Sama hebat, sama cerdik, dan sama jago.

Alkisah maka terbanglah Matansing awan gunung Bantik dan putra Raja Bugis terbang pula dari gunung Tumpa, lalu sesaat kemudian duel udara yang serupun berlangsung. Pertarungan babak pertama selelsai karena mereka beristirahat. Kemudian dilanjutkan dengan pergantian tempat. Duel maut babakan kedua dimulai, Matansing melayang terbang melalui gunung Tumpa dan lawannya sebagai anak panah lepas dari busurnya melayang dari gunung Bantik, Matansing yang melihat musuhnya sangat sukar dikalahkan itu, setiba bertukaran tempat di Tumpa, lalu mengambil tali hutan (”bahahing”) untuk dibuat jerat. Tali buatan itu dilemparkan Matansing ke arah musuhnya dan terjeratlah di leher putra Raja itu sekaligus tergantunglah di udara, maka Matansing mengambil parangnya dan memancung leher musuhnya.
 
Badannya jatuh ke Bumi, disusul dengan kepalanya yang masih terikat dengan tali hutan tadi. Melihat musuhnya telah kalah, Matansing mengambil mayat musuhnya lalu diterbangkan ke kebunnya di kelapa lima. Disana mayat itu dikuburkan Matansing lalu ditandai dengan ditanamkannya di tempat itu lima pohon kelapa, sehingga tempat itu biasa disebut ”kelapa lima”.

Hingga muat riwayat ini ditulis, diantaranya negeri Singkil dan Buha terdapat kelapa Matansing (tempat tersebut disebut kelapa lima) kelapanya memang sudah tidak ada lagi, tetapi tanah dan bekasnya masih ada. Tahun demi tahun berlalu sampai Matansing telah berusia tua, ia mulai jatuh sakit di negeri Buha, tetapi bila ada orang datang menjenguknya, kadangnya tidak diketemukan hanya tempat tidurnya saja. Lama-kelamaan, pada saat mautnya tiba, hilanglah ia entah kemana tak diketahui rimbanya. Ia pergi dan tak seorangpun mengetahuinya.

Kata orang, ia kembali ke Kayangan sebagaimana cerita kita pada bagian-bagian lain, seperti kisah negeri Balruda itu. Pedang dan tombak milik Matansing, masih ada di negeri Bantik. Demikianlah riwayat Matansing yang menurut tutur orang ia menjelma menjadi dewa, sedang tutur orang lain ia menjelma menjadi jin atau makhluk halus. Untuk lebih melengkapi riwayat tentang Matansing alangkah baiknya kalau diutarakan pula disini sedikit tentang asal-usul dan siapakah Matansing yang mengemarakan sejarah anak suku Bantik. (dikisahkan kembali oleh J. Koapaha, edited Jeldy Tontey)

Apr 3, 2012

Waruga Minahasa

0 comments
DSC04065
Cerita berikut ini yang beredar di masyarakat lewat cerita mitologi dari mulut kemulut

Pembuatan waruga dimulai tahun 1600 versi sejarah, Jauh sebelum tahun pembuatan waruga orang tua/leluhur dpt membuat waruga dari DAMATO atau Batu Gunung tanpa menggunakan yg namanya Pahat atau alat modern lain. Sedang batu dapat dorang ukir cuma memakai tangan. 9 Dotu Pinaesaan Samuanya ada Waruga kecuali Sang Dewa Air Putri Wailan Karema waruga Karema di duga di Kota menara tapi belum di temukan ada waruganya tapi tdk dipublikasikan.

Maka Sejarah Asli Minahasa akan TERBUKA termasuk WARUGA Dotu Puser Ing Tanah Banua Minahasa REMUS WURI.

Orang Minahasa mengenal dua kali pemakaman, yang pertama jenazah dimakamkan dalam Kotak Petih Kayu disebut “ Walongsong “ diletakan di hutan kemudian tulang belulangnya dicuci di sungai dan dimasukkan dalam Kotak Kayu kecil lalu disimpan di (loteng) rumah.

Cara ini masih di Ikuti oleh suku-suku yg asalnya dari Minahasa seperti suku Dayak, Papua, Ambon, dll

WARUGA DOTU TOAR & LUMIMUUT 10 Tahun lalu terbenam dlm tanah dgn kedalaman 3 meter tdk ada satupun TONAAS di sulut yg tau keberadaan Waruga Dotu Toar cuma 2 orang TITISAN atau yang di Pilih Langsung Oleh Orang Tua/Dotu.

''WALONGSONG'' Masih kalah Tua dgn yang namanya ''MANUSIA BOTOL'' tinggi dan panjang cuma 20 cm dan tubuhnya pun lomboh seperti kapas yang mendiami ''TANAH MALESUNG'' dan merekapun masih kalah tua dgn DEWA TANA'KARENGAN.

Penguasa Tanah MALESUNG hidup & Menetap Didlm Tanah. Tidak berbapa & tidak beribu sama seperti Sang DEWA AIR ''Putri Wailan Karema Dan Imam Besar ''MELKISEDEK'' Yang tidak berbapa dan beriibu.
Benjamin Sigar

Silsilah Keluarga Besar Sigar di Langowan Menurut Mantan Hukum Tua Bastiaan Bartholomeus Sigar

Maka deri teteh Rambian soedah djadi kapala district Langowang peranaklah ija,

Tabalujan soedah djadi kapala district dan peranaklah ija,

Korúa soedah djadi kapala district dan peranaklah ija ,
... Gerúng soedah djadi kapala district dan peranaklah ija,
Pangerapan parampoewan berlaki Pangalila peranaklah ija ,
Porongkaú parampúwan berlaki Sigar tiada pangkat dan peranaklah ija,
B.T. Sigar soedah djadi kapala district dan per- anaklah ija, Bastiaan Bartholomeus Sigar soedah djadi Hoekoem toewah negerij Amongena district Langowang; dan L.R. Sigar majoor jang mintah berhenti . –
Deri sebelah iboe istrij deri bapakoe B T. Sigar bernama Mariana Ratúmbúisan ada bangsa deri teteh Karewúr kapala district Tondano Toulian Toulimambot peranaklah ija,
dan seterusnya.....

Mar 4, 2012

lambang_propinsi_sulut
Ibukota : Manado SEJARAH PROPINSI SULAWESI UTARA
Sulawesi Utara mempunyai latar belakang sejarah yang cukup panjang sebelum daerah yang berada di paling ujung utara Nusantara ini menjadi Daerah Propinsi.
Dalam sejarah pemerintahan daerah Sulawesi Utara, seperti halnya daerah lainnya di Indonesia, mengalami beberapa kali perubahan administrasi pemerintahan, seiring dengan dinamika penyelenggaraan pemerintahan bangsa.
Pada permulaan kemerdekaan Republik Indonesia, daerah ini berstatus keresidenan yang merupakan bagian dari Propinsi Sulawesi. Propinsi Sulawesi ketika itu beribukota di Makassar dengan Gubernur yaitu DR.G.S.S.J. Ratulangi.
Kemudian sejalan dengan pemekaran administrasi pemerintahan daerah-daerah di Indonesia, maka pada tahun 1960 Propinsi Sulawesi dibagi menjadi dua propinsi administratif yaitu Propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara dan Propinsi Sulawesi Utara-Tengah melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1960.

Untuk mengatur dan menyelenggarakan kegiatan pemerintahan di Propinsi Sulawesi Utara-Tengah, maka berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor.122/M Tahun 1960 tanggal 31 Maret 1960 ditunjuklah A. Baramuli, SH sebagai Gubernur Sulutteng.
Sembilan bulan kemudian Propinsi Administratif Sulawesi Utara-Tengah ditata kembali statusnya menjadi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1960. Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sulutteng meliputi; Kotapradja Manado, Kotapraja Gorontalo, dan delapan Daerah Tingkat II masing-masing; Sangihe Talaud, Gorontalo, Bolaang Mongondow, Minahasa, Buol Toli-Toli, Donggala, Daerah Tingkat II Poso, Luwuk/ Banggai. Sementara itu, DPRD Propinsi Sulawesi Utara-Tengah baru terbentuk pada tanggal 26 Desember 1961.
Dalam perkembangan selanjutnya, tercatat suatu momentum penting yang terpatri dengan tinta emas dalam lembar sejarah daerah ini yaitu dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tanggal 23 September 1964 yang menetapkan status Daerah Tingkat I Sulawesi Utara sebagai daerah otonom Tingkat I dengan Ibukotanya Manado.
Momentum diundangkannya UU Nomor 13 Tahun 1964 itulah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Daerah Tingkat I Sulawesi Utara. Sejak itulah secara de facto wilayah Daerah Tingkat I Sulawesi Utara membentang dari utara ke selatan barat daya, dari Pulau Miangas ujung utara di Kabupaten Sangihe Talaud sampai ke Molosipat di bagian barat Kabupaten Gorontalo. Adapun daerah tingkat II yang masuk dalam wilayah Sulawesi Utara yaitu; Kotamadya Manado, Kota Madya Gorontalo, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bolaang Mongondow, dan Kabupaten Sangihe Talaud. Gubernur Propinsi Dati I Sulawesi Utara yang pertama adalah F.J. Tumbelaka.
Dalam perjalanan panjang Propinsi Sulawesi Utara tercatat sejumlah Gubernur yang telah memimpin daerah ini yaitu:
F.J.Tumbelaka (Pj.Gubernur 1964-1965); Soenandar Prijosoedarmo (Pj.Gubernur 1965-1966); Abdullah Amu (Pj.Gubernur 1966 – 1967); H.V. Worang (1967 – 1978); Willy Lasut.G.A (1978-1979); Erman Harirustaman (Pj.Gubernur 1979-1980); G.H. Mantik (1980-1985); C.J. Rantung (1985-1990); E.E.Mangindaan (1995-2000); Drs. A.J. Sondakh (2000-2005); Ir. Lucky H. Korah, MSi (Pj. Gubernur 2005) dan Drs.S.H.Sarundajang (2005-2010).
Sementara yang pernah menduduki posisi Wakil Gubernur yaitu; Drs. Abdullah Mokoginta (1985-1991); A. Nadjamuddin (1991-1996); J. B. Wenas (Wagub Bidang Pemerintahan dan Kesra, 1997-2000); Prof. Dr. Hi. H. A. Nusi, DSPA (Wagub Bidang Ekonomi dan Pembangunan, 1998-2000 ), dan Freddy H. Sualang (2000-2005) dan terpilih kembali untuk periode 2005-2010.
Selanjutnya, seiring dengan nuansa reformasi dan otonomi daerah, maka telah dibentuk Propinsi Gorontalo sebagai pemekaran dari Propinsi Sulawesi Utara melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000. Dengan dibentuknya Propinsi Gorontalo tersebut, maka wilayah Propinsi Sulawesi Utara meliputi; Kota Manado, Kota Bitung, Kab. Minahasa, Kab. Sangihe dan Talaud dan Kab. Bolaang Mongondow. Pada Tahun 2003 Propinsi Sulawesi Utara mengalami penambahan 3 Kabupaten dan 1 Kota dengan Kabupaten Minahasa sebagai Kabupaten induk yaitu Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Tomohon serta Kabupaten Kepulauan Talaud. Kemudian tahun 2007 ketambahan lagi 4 lagi Kabupaten/Kota yakni Kab. Minahasa Tenggara, Kab. Bolmong Utara, Kab. Sitaro dan Kota Kotamobagu.
Secara Geografis
Propinsi Sulawesi Utara terletak di jazirah utara Pulau Sulawesi dan merupakan salah satu dari tiga propinsi di Indonesia yang terletak di sebelah utara garis khatulistiwa. Dua propinsi lainnya adalah Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dilihat dari letak geografis Sulawesi Utara terletak pada 0.300-4.300 Lintang Utara (LU) dan 1210-1270 Bujur Timur (BT). Kedudukan jazirah membujur dari timur ke barat dengan daerah paling utara adalah Kepulauan Sangihe dan Talaud, dimana wilayah kepulauan ini berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina. Wilayah Propinsi Sulawesi Utara mempunyai batas-batas:
Utara : Laut Sulawesi, Samudra Pasifik dan Republik Filipina
Timur : Laut Maluku
Selatan : Teluk Tomini
Barat : Propinsi Gorontalo
peta_gorontalo
SEJARAH GORONTALO Menurut sejarah, Jazirah Gorontalo terbentuk kurang lebih 400 tahun lalu dan merupakan salah satu kota tua di Sulawesi selain Kota Makassar, Pare-pare dan Manado.
Gorontalo pada saat itu menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Indonesia Timur yaitu dari Ternate, Gorontalo, Bone. Seiring dengan penyebaran agama tersebut Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan masyarakat di wilayah sekitar seperti Bolaang Mongondow (Sulut); Buol Toli-Toli, Luwuk Banggai, Donggala (Sulteng) bahkan sampai ke Sulawesi Tenggara.Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan karena letaknya yang strategis menghadap Teluk Tomini (bagian selatan) dan Laut Sulawesi (bagian utara).
Kedudukan Kota Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan Hulawa Kecamatan Telaga sekarang, tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Menurut Penelitian, pada tahun 1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari Keluruhan Hulawa ke Dungingi Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat sekarang. Kemudian dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe kota Kerajaan ini dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B.
Dengan letaknya yang stategis yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan serta penyebaran agama islam maka pengaruh Gorontalo sangat besar pada wilayah sekitar, bahkan menjadi pusat pemerintahan yang disebut dengan Kepala Daerah Sulawesi Utara Afdeling Gorontalo yang meliputi Gorontalo dan wilayah sekitarnya seperti Buol ToliToli dan, Donggala dan Bolaang Mongondow.
Sebelum masa penjajahan keadaaan daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan yang diatur menurut huukm adat etatanegaraan Gorontalo. Kerajaan-kerajaan itu tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut “Pohala’a”. Menurut Haga (1931) daerah Gorontalo ada lima pohala’a
• Pohala’a Gorontalo
• Pohala’a Limboto
• Pohala’a Suwawa
• Pohala’a Boalemo
• Pohala’a Atinggola
Dengan hukum adat itu maka Gorontalo termasuk 19 wilayah adat di Indonesia. Antara agama dengan adat di Gorontalo menyatu dengan istilah “Adat bersendikan Syara’ dan Syara’ bersendikan Kitabullah”.
Pohalaa Gorontalo merupakan pohalaa yang paling menonjol diantara kelima pohalaa tersebut. Itulah sebabnya Gorontalo lebih banyak dikenal.
Asal usul nama Gorontalo terdapat berbagai pendapat dan penjelasan antara lain :
• Berasal dari “Hulontalangio”, nama salah satu kerajaan yang dipersingkat menjadi hulontalo.
• Berasal dari “Hua Lolontalango” yang artinya orang-orang Gowa yang berjalan lalu lalang.
• Berasal dari “Hulontalangi” yang artinya lebih mulia.
• Berasal dari “Hulua Lo Tola” yang artinya tempat berkembangnya ikan Gabus.
• Berasal dari “Pongolatalo” atau “Puhulatalo” yang artinya tempat menunggu.
• Berasal dari Gunung Telu yang artinya tiga buah gunung.
• Berasal dari “Hunto” suatu tempat yang senantiasa digenangi air
Jadi asal usul nama Gorontalo (arti katanya) tidak diketahui lagi, namun jelas kata “hulondalo” hingga sekarang masih hidup dalam ucapan orang Gorontalo dan orang Belanda karena kesulitan dalam mengucapkannya diucapkan dengan Horontalo dan bila ditulis menjadi Gorontalo.
Pada tahun 1824 daerah Limo Lo Pohalaa telah berada di bawah kekusaan seorang asisten Residen disamping Pemerintahan tradisonal. Pada tahun 1889 sistem pemerintahan kerajaan dialihkan ke pemerintahan langsung yang dikenal dengan istilah “Rechtatreeks Bestur”. Pada tahun 1911 terjadi lagi perubahan dalam struktur pemerintahan Daerah Limo lo pohalaa dibagi atas tiga Onder Afdeling yaitu
• Onder Afdeling Kwandang
• Onder Afdeling Boalemo
• Onder Afdeling Gorontalo
Selanjutnya pada tahun 1920 berubah lagi menjadi lima distrik yaitu :
• Distrik Kwandang
• Distrik Limboto
• Distrik Bone
• Distrik Gorontalo
• Distrik Boalemo
Pada tahun 1922 Gorontalo ditetapkan menjadi tiga Afdeling yaitu :
• Afdeling Gorontalo
• Afdeling Boalemo
• Afdeling Buol
Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, rakyat Gorontalo dipelopori oleh Bpk. H. Nani Wartabone berjuang dan merdeka pada tanggal 23 Januari 1942. Selama kurang lebih dua tahun yaitu sampai tahun 1944 wilayah Gorontalo berdaulat dengan pemerintahan sendiri. Perjuangan patriotik ini menjadi tonggak kemerdekaan bangsa Indonesia dan memberi imbas dan inspirasi bagi wilayah sekitar bahkan secara nasional. Oleh karena itu Bpk H. Nani Wartabone dikukuhkan oleh Pemerintah RI sebagai pahlawan perintis kemerdekaan.
Pada dasarnya masyarakat Gorontalo mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi. Indikatornya dapat dibuktikan yaitu pada saat “Hari Kemerdekaan Gorontalo” yaitu 23 Januari 1942 dikibarkan bendera merah putih dan dinyanyikan lagu Indonesia Raya. Padahal saat itu Negara Indonesia sendiri masih merupakan mimpi kaum nasionalis tetapi rakyat Gorontalo telah menyatakan kemerdekaan dan menjadi bagian dari Indonesia.
Selain itu pada saat pergolakan PRRI Permesta di Sulawesi Utara masyarakat wilayah Gorontalo dan sekitarnya berjuang untuk tetap menyatu dengan Negara Republik Indonesia dengan semboyan “Sekali ke Djogdja tetap ke Djogdja” sebagaimana pernah didengungkan pertama kali oleh Ayuba Wartabone di Parlemen Indonesia Timur ketika Gorontalo menjadi bagian dari Negara Indonesia Timur.
Geografis
Berdasarkan UU No. 38 tahun 2001, wilayah Gorontalo ditetapkan sebagai Provinsi, lepas dari Provinsi Sulawesi Utara. Gorontalo sebagai provinsi yang ke 32 secara geografis terletak diantara 0º, 30′ – 1º,0′ lintang utara dan 121º,0′ – 123º,30′ Bujur Timur, yang diapit oleh Laut Sulawesi di sebelah Utara, Provinsi Sulut di sebelah Timur, Teluk Tomini di sebelah Selatan, dan Provinsi Sulteng di sebelah Barat.
Provinsi Gorontalo memiliki luas wilayah sebesar 12.215,45 km2

Jan 29, 2012

Alamat Patilasan Groot Majoor Bintang Tololiu Hermanus Willem Dotulong adalah Marunda dalam kawasan pelabuhan KEN II Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Letaknya tidak jauh dari tempat cap kaki keramat Cilincing lewati jembatan yg pada malam hari menjadi tempat hiburan malam kanan kiri muara pertemuan air tawar dan asin. Lurus terus menuju pelabuhan peti kemas, jalan ke sana cukup hancur/rusak kalau anda menggunakan sepeda motor sebaiknya berhati-hati perhatikan jalan yg berlubang dan mobil truk besar yg bisa mengambil nyawa anda sewaktu-waktu untuk itu saya sarankan naik mobil sayangnya tidak ada kendaraan umum menuju ke sana mau tidak mau anda naik ojek. Jika anda melewati Pos Polisi silahkan masuk dan tanyakan letak makam, karena di Pos Polisi ini anda bisa mendapatkan kunci untuk masuk ke makam Kapten Jongker yg letaknya persis di samping Patilasan ini.

Berikut foto-foto Patilasan:


Jan 27, 2012


Waruga Toar Lummimuut ini terletak di lereng gunung Desa Palamba merupakan salah satu desa yang berada di kecamatan Langowan Selatan, Kabupaten Minahasa, provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Warga di sana terkenal dengan hasil cengkeh, anda akan melihat di sepanjang perjalanan Desa. Dari kota Manado kira-kira membutuhkan waktu 2 jam perjalanan jika menggunakan mobil pribadi, dalam perjalanan anda akan melihat pemandangan sawah yg indah dan luas sayang terakhir saya pergi pada tahun 2012 jalan ke arah Waruga sangat rusak.