Sep 27, 2012

kateda

Sejarah kateda sebagian besar tidak diketahui publik, sebagaimana pengetahuan publik tentang keberadaan kateda itu sendiri.

Kateda dinyatakan berumur setidaknya 3000 tahun, bahkan mungkin 10,000 tahun, yang menandakan munculnya di akhir Jaman Es. Kateda dinyatakan berasal dari Tibet. Sejumlah seni bela diri Tibet yang lain, atau seni Bod, dapat diketahui, seperti Seamm-Jasani, Baobom, Yaanbao dan Sung-Thru Kyom-Pa yang sangat tidak jelas (disebut juga Amaree). Seam-Jasani dianggap berumur 10,000 tahun, yang berasal dari Bod kuno (Sebutan Tibet bagi orang Tibet) atau Peuyul (nama kuno yang dipakai sebelum Tibet Modern, yang berarti “Tanah Bersalju” atau “Tanah para Dewa” dalam bahasa Tibet), dan dilakukan di iklim Himalaya luar, jadi pernyataan umur Kateda barangkali tidak semustahil anggapan awal. Namun Kateda (seperti seni Sindo) mungkin hanyalah sebuah reformulasi Pentjak Silat, atau Kuntao Silat.

Disebutkan bahwa Kateda hilang dan setelah sekian lama ditemukan oleh seorang penyendiri dari daerah Himalaya bernama Tagashi (atau Takashi). Tahun 1907, pada umur 20, Tagashi sedang berkelana di Tibet Utara. Disana dia disebut telah menemukan buku berbungkus kulit ditulis dengan bentuk simbol. Selama 40 tahun berikutnya ia mempelajari buku tersebut dan meneliti asal buku itu, membandingkannya dengan buku-buku kuno lainnya yang dimiliki oleh orang Tibet, Nepal, dan Himalaya. Dia menarik kesimpulan bahwa “Tujuh Rahasia”—nama yang ia beri pada buku tersebut—dimana simbolnya telah diterjemahkan menjadi 7 huruf yang berbeda, berasal dari “sebuah masa dimana perang tidak ada”.

Dia mendeskripsikan ajaran tersebut sebagai “anatomi struktural dari tenaga dalam manusia, dibangun oleh tujuh unsur paling murni dalam tenaga dalam alami”. Pengetahuan ini digunakan untuk perlindungan terhadap lingkungan yang liar, dan juga memelihara kedamaian dan harmoni. Dengan diciptakannya senjata perang, ajaran di dalam buku itu makin jarang digunakan, hingga akhirnya dilupakan seluruhnya. Dia juga menulis “Buku Tujuh Rahasia ini mengandung kekuatan atom tubuh manusia dan kekuatan naluri manusia. Tenaga dalam ini terbagi dalam tujuh bagian yang alami dan murni. Pada jaman dahulu kekuatan dan pengetahuan ini digunakan hanya untuk perlindungan hidup dan kenyamanan manusia, contohnya menghadapi alam liar, binatang buas, hawa dingin dan panas dan bahkan untuk kedamaian dan harmoni antara manusia.

Tagashi percaya bahwa pelajaran buku tersebut dan ilmu kateda tidak boleh disalahgunakan, menyumpahkan semua murid-muridnya untuk menjaga rahasia. Tahun 1947 Tagashi memutuskan untuk mengikuti peta yang ditunjukkan pada halaman-halaman terakhir buku tersebut, menganggap ini adalah perjalanan yang dilakukan orang atau orang-orang yang terakhir memiliki buku tersebut, untuk mencegahnya dihancurkan. Pada saat ini pandangannya telah berubah dan dia percaya bahwa Tujuh Rahasia harus dibagi dengan yang lain; berlawanan dengan keteguhannya akan kerahasiaan sekarang dia ingin semua orang memiliki akses terhadap pengetahuan ini tapi dia terlihat bimbang tentang ini pada saat-saat tertentu (atau barangkali ceritanya pudar seiring dengan waktu).

Selama 16 tahun perjalanannya melalui Nepal, India, Thailand, Malaysia dan Indonesia dia mengajar sekitar 200 murid. Ajarannya diberikan secara rahasia untuk mencegah penyalahgunaan pengetahuan bela diri. Semua diharuskan bersumpah untuk menjaga kerahasiaan, khususnya mereka yang dapat memukul benda padat tanpa rasa sakit atau luka. Mereka juga harus mengembangkan rasa tanggungjawab mereka mengenai pengetahuan ini, dengan mengajari yang lain diawasi oleh Tagashi.

Tahun 1963 Tagashi dan 30 Master sampai pada Gunung Bromo, Jawa Timur, Indonesia. Disini dia menemukan arti “Inner Vision” dan “Inner Voice” dengan melihat bayangan-bayangan: pada sisi kawah dia melhat simbol yang sama dengan yang dijelaskan dalam buku. Ini membentuk basis anggapan dia bahwa Rahasia Ketujuh dapat diraih dengan metoda bela diri.

Sejak saat itu tujuan Tagashi adalah menetap di Gunung Bromo dan mencari rantai atau metoda yang memisahkan kemampuan yang telah dia dapatkan dari pengetahuan yang utama—Rahasia Ketujuh. Selama dia tinggal pada tahun 1963-9 beberapa murid dari Indonesia menemui Tagashi. Mereka menetap bersamanya dan ketika mencapai tingkat Master, diberi tugas membantu Tagashi mencari kunci untuk membuka Rahasia Ketujuh.

Pada tahun 1969 salah satu Master dari Indonesia mendapat izin dari tagashi untuk menterjemahkan Tujuh Rahasia ke bahasa biasa, termasuk cara membuka Rahasia Ketujuh, yang telah ditemukan oleh Master ini. Dia belum pernah melihat manuskripnya hingga Tagashi memberi dia izin untuk menterjemahkannya. Izin tersebut diberikan karena Master ini, ketika berada di Gunung Bromo, mempunyai bayangan yang sama dengan Tagashi tentang simbol yang dijelaskan di akhir buku. Tagashi sadar bahwa Rahasia Ketujuh ini dapat diraih.

Cara yang dapat ditempuh untuk meraihnya disebut Deep Silence, dan membuatnya mampu untuk mengendalikan pikiran sehingga dapat menghubungi alam bawah sadarnya dan mencapai Inner Vision dan Inner Voicenya. Selama 3 tahun dari 1969-1972 Master ini menterjemahkan Tujuh Rahasia dalam pengasingan di Tibet Utara, dimana manuskripnya ditemukan. Pada Maret 1972 Tagashi menerima terjemahannya. Dia juga setuju untuk mengahpuskan kerahasiaan tradisionalnya dan menggantinya dengan organisasi pengajaran terstruktur dengan peraturan-peraturan. Terjemahan dari Tujuh Rahasia disebut Kateda—yang berarti tingkat tertinggi dari Central Power.

Metoda pernafasan, pengendalian otot, gerakan fisik, konsentrasi pikiran, komunikasi hawa Internal Heat, Inner Vision dan Inner Voice, adalah kata-kata yang digunakan sekarang—menggantikan simbol-simbol manuskrip asli. Satu-satunya simbol yang dipakai dalam terjemahan adalah nama Kateda itu sendiri. Huruf-huruf K-A-T-E-D-A diambil dari simbol yang digambar di halaman paling akhir dari “Tujuh Rahasia”—simbol gunung bersama dengan garis bantu, juga dalam bentuk simbol, instruksi menuju mencapai titik tertinggi. Gunung Bromo menjadi seperti “Pusat Spiritual” Kateda dan disini Master tingkat tinggi dilatih oleh Grandmaster. Salah seorang murid Indonesia menyebutkan bahwa KATEDA berasal dari Karate Tenaga Dalam dan sesuai dengan yang digunakan oleh organisasi Kateda. Setelah itu murid seni Indonesia Agus Nugroho, mendesain logo yang melambangkan Gunung Bromo dengan kata KATEDA.

Pada tahun 1976, tanggal 22 Januari, Tagashi meninggal pada usia 89. Dia dikremasi di kawah Bromo, bersama dengan manuskrip asli. Ini adalah permintaan terakhirnya. Dia juga meminta siapapun yang menjadi Grandmaster Kateda baru harus memprioritaskan perdamaian di atas semua pengetahuan yang dicapai melaui metoda Kateda. Pada saat kematiannya, sejumlah muridnya tergabung dengannya dalam mencapai Tingkat Ketujuh. Salah satu murid ini bernama Lionel Henry Nasution, anak seorang Jenderal Indonesia.

Pada tahun 1977, 5 tahun setelah pembukaan sekolah Kateda pertama di Indonesia, Kateda International—organisasi pengajaran utama dari sekolah Kateda—membuka sekolah di Inggris, dan tiga tahun kemudian pada 1980 di Amerika. Semua sekolah tersebut dengan cabang-cabangnya disentralisasi dengan nama “Sekolah Bela Diri Kateda”. Tanggal 5 Maret 1981 Sekolah Bela Diri Kateda London menjadi pusat semua sekolah Kateda, karena pada saat itu anggotanya berasal dari budaya dan latar belakang yang berbeda—dari Inggris, Amerika, Indonesia, Iran, Denmark dan sebagainya. Tahun 1982 ada 30 Master yang memimpin sekolah-sekolah melalui metoda tradisional seleksi, memastikan permintaan almarhum Grandmaster Tagashi dilaksanakan.

Tidak begitu jelas apakah Lionel Nasution meneruskan Tagashi sebagai Grandmaster walau diketahui bahwa Nasution belajar langsung di bawah Tagashi dan mencapai Tingkat Ketujuh Central Power dalam bimbingannya di kawah Gunung Bromo.

Efek dari Latihan

Seperti latihan apapun yang dijalankan dengan benar, berlatih Kateda meningkatkan kebugaran jasmani, stamina dan relaksasi. Mempelajari Kateda dianggap meningkatkan kekuatan pikiran, sistem saraf dan pernafasan, koordinasi, keseimbangan dan naluri melalui semua jenis kelompok otot.

Setelah mempelajari gerakan dasar seni tersebut, dari nomor 1 hingga 10 dan terdiri atas beragam pukulan, tangkisan, tendangan dan loncatan, murid-murid melalui proses mempelajari pengendalian Central Power. Langkah-langkahnya menjadi lebih kuat dengan gabungan Central Power.

Seperti seni bela diri lainnya Kateda juga menjanjikan pengembangan spiritual, melalui pembangkitan Central Power. Central Power dikembangkan melaui pernafasan unik, latihan mental dan fisik. Salah satu latihannya disebut “kei”, yang menandakan suatu hubungan dengan seni bela diri lain. Ini mungkin sebuah kebetulan, tapi kemiripan dengan kata dalam bahasa Cina Qi atau Chi terlihat jelas.

Keahlian seorang murid dalam menyalurkan Central Power melalui Sistem Saraf diuji dengan berbagai cara dalam latihan , sebagai contoh:

· Untuk pria, memecahkan bata dengan solar plexus

· Untuk wanita, menendang dan memecahkan bata dengan sisi kaki

· Menerima pukulan kepada solar plexus

· Menahan cekikan

· Pukulan cepat dan terus menerus kepada plat besi dengan buku jari

· Press-up dengan menggunakan buku jari dan meloncat di atas plat besi

· Dipukul oleh batang besi

· Dipukul dari segala arah oleh sebanyak delapan orang

Dengan bertambah mahirnya seorang murid, keahlian lainnya dapat dilaksanakan. Pengguna dapat melakukannya tanpa merasa sakit atau terluka. Jika memar terjadi, ini dikarenakan keahlian seseorang dalam mengendalikan Central Power tidak cukup.

Keuntungan secara fisik sudah jelas, dengan murid menjadi kurus dan sangat kuat tapi tes fisik Kateda yang terfokus pada sisi agresif diselimuti kontroversi. Sejak tahun 1980an keberadaan tes fisik dalam pelatihan Kateda menurun drastis dan beberapa tes yang disebut diatas tidak lagi dipakai oleh pengguna utama.

Sistem Sabuk, Tingkat dan Grandmaster dalam Kateda mengikuti sistem sabuk yang sudah dikenal, dengan murid baru memulai dari sabuk putih, lalu menuju kuning, hijau, biru, coklat dan hitam.

Setelah sabuk hitam, ada delapan tingkat. Tingkat 1 hingga 5 disebut “pelatih” dan memakai seragam hitam dengan angka romawi merah. Tingkat 6 hingga 8 disebut “Master” dan diatas nya memakai jubah putih atau krem dengan angka romawi merah besar.

Tingkat ke delapan adalah tingkat yang tertinggi. Sedikit yang mencapainya dan dari sedikit orang tersebut, seseorang dapat diberi gelar Wakil Grandmaster tapi ini berdasarkan penilaian Grandmaster. Telah disebutkan bahwa Grandmaster berikutnya akan dipilih dari Tingkat Delapan dan kemungkinan besar adalah Wakil Grandmaster, tapi tidak ada jaminan.

Hanya satu Grandmaster yang dapat berada dalam satu waktu. Murid Kateda menyebutkan bahwa siapapun yang mampu menyerang Grandmaster dengan cara apapun, di dalam atau di luar sesi latihan, maka mereka otomatis akan menjadi Grandmaster berikutnya. Dalam kejadian langka seperti itu, biasanya penyerang akan terpental oleh sang Grandmaster yang santai, yang mungkin bahkan tidak melirik sekalipun, sementara murid-murid lain yang terlihat heran menonton. Ini mirip sekali dengan cerita tentang Seni Cina Yiquan.

Referensi dan pengaruh dari sabuk, tingkatan dan jubah

Sistem sabuk dan pembagian tingkat di atas sabuk hitam menjadi pelatih, Master dan Grandmaster memang hampir identik dengan yang digunakan di seni bela diri Korea Tae Kwon Do. Ini tidak dengan mudah cocok dengan sejarah umum seni tersebut.

Namun jubah hitam para pelatih dan Master sangat mirip dengan yang dipakai di Pencak Silat, sebuah seni bela diri Indonesia asli. Setelah Perang Dunia ke-2, Indonesia meraih kemerdekaannya dan banyak organisasi bela diri berusaha menyatukan beragam jenis pencak silat menjadi satu jenis. Akan mengherankan jika Kateda dan Sindo tidak terpengaruh selama masa ini, yang memiliki efek yang hebat terhadap seni bela diri Indonesia.

Keajaiban mistis Central Power dan Tingkat Ketujuh telah diberitakan oleh para murid; tentu legenda dan sejarah seni ini tergantung pada mistisisme ini. Setelah mengembangkan teknik dasar, murid-murid dapat menahan berbagai serangan fisik dan memukul plat besi tanpa terlihat sakit. Akan teteapi setelah ini pelajarannya menjadi lebih terinternalisasi. Setelah penelaahan intensif, murid dapat disebut telah mencapai “tingkat” yang lebih tinggi dalam Central Power.

Ketika mencapai Tingkat Ketujuh, murid-murid dikatakan sedang mengembangkan keserbatahuan. Pencapaian tingkat ini diperlukan untuk menjadi murid Tingkat Delapan. Grandmaster mampu berkomunikasi dengan Grandmaster sebelumnya dengan teknik yang didapat ketika mencapai tingkat ketujuh.

Tingkat Central Power, dengan berurutan, berada dengan indikasi dimana pada suatu latihan dipelajari:

Pernafasan (sabuk putih)

Pengendalian otot (sabuk kuning dan hijau)

Gerakan fisik (sabuk biru dan coklat)

Konsentrasi pikiran (sabuk hitam)

Komunikasi Internal Heat (sabuk hitam)

Inner Vision (Pelatih dan Master)

Inner Voice (Master)

Murid langsung berlatih dengan pernafasan pada tingkat sabuk putih. Harus juga disebutkan penekanan pada “Satu Arah”, yaitu fokus penglihatan dan perhatian pada satu titik. Teknik meditasi ini digunakan di setiap kelas untuk memfokuskan pikiran dalam mengembangkan Central Power.

Apa Central Power dan apakah itu unik terhadap Kateda?

Pengguna Kateda menggambarkan “Internal Heat” berasa seperti panas listrik yang bergerak di sekitar tubuh ketika mereka membangkitkan Central Power dan dapat diarahkan kepada tangan, kaki, solar plexus atau tempat lain. Ini mirip dengan Ying (“keras”) Qigong, dimana penggunanya mengarahkan Qi ke tempat-tempat tertentu di tubuhnya untuk menahan serangan atau melakukan aksi spektakuler pengendalian tubuh lainnya. Selain itu, pengguna Qigong mengatakan “dimana pikiran melaju, disitu Qi juga melaju”, yang persisi dengan konsep Kateda dalam mengarahkan Central Power dalam kendali sadar ke bagian-bagian tubuh. Memang, kateda mengajarkan metoda mengasah kekuatan yang bernama “kei”, yang secara bahasa mirip dengan istilah Cina “qi” atau “chi”. Malah, Sindo Indonesia yang merupakan kerabat dekat Kateda menyatakan dalam situs webnya bahwa Sindo adalah “seni beladiri terdekat ke Shaolin”.

Walau asal mula Kateda dan seni beladiri Cina tradisional berbeda-beda, kemiripan bahasa dan konsep menandakan asal yang sama, atau perkawinan silang terus-menerus, walau bukti yang pasti hilang ditelan waktu. Akan tetapi, ada kemungkinan kata “kei” adalah pinjaman yang lebih baru dari bahasa Cina.

Orang-orang skeptis menyatakan bahwa tidak ada yang namanya Qi dan aksi yang bergantung pada pembangkitannya mungkin hanya bergantung pada Kekuatan Sugesti. Akan tetapi penganut mengarah pada bukti yang sedang bertumbuh yang mendukung adanya biolistrik yang berbeda dengan arus listrik yang berjalan pada sistem saraf untuk tujuan gerak, kendali otot dan indera. Beberapa mengaku sudah memotret qi dan Reiki bergerak dalam tubuh manusia.

Akan tetapi, tingkat-tingkat tertinggi dalam Central Power, penglihatan dan Inner Voice, tidak dengan mudah masuk ke dalam konsep ini. Kemampuan psikis ini lebih cocok dengan ajaran spritual Yoga dan kemajuan terakhir dalam fisika non-lokal yang keduanya menandakan adanya alam di balik pancaindera kita dan dapat dijelaskan dengan fisika relativistik dan Newtonian. Deepak Chopra telah menerbitkan banyak buku yang berusaha menjelaskan topik-topik tersebut kepada penyimak Barat dan walau karya ini menimbulkan kontroversi dalam lingkup konvensional, karya Chopra telah mencapai banyak orang yang mengaku mendapat perubahan positif stelah mengerti konsep ini. Orang-orang skeptis menyebutkan bahwa Central Power dan qi tidak ada dan penyebutannya adalah cara yang cerdas untuk membuat masyarakat membayar untuk “mempelajarinya”.

Baru-baru ini, ada kontroversi signifikan dalam ruang chat internet di Yellow Bamboo, turunan Tenaga Dalam. Kontroversi ini mengingatkan pada yang meletus dalam Kateda di London, Inggris tahun 1990/1 dan pernyataan tentang Yellow Bamboo, Tenaga Dalam dan Kateda memiliki kemiripan. Jika Central Power memang ada, dapat dikatakan bahwa Kateda memiliki kemiripan dengan seni lain, tapi bukti keberadaannya belum ada sampai saat ini.

Seseorang dapat berteori bahwa Tenaga Dalam adalah nama untuk cara mengendalikan sistem saraf otonom—melalui pengaktifan inervasi simpatetis yang dipilih dalam tubuh, seseorang dapat mengarahkan aliran darah menuju tempat yang dibutuhkan dalam tubuh, sehingga meningkatkan kemampuan otot—seperti ledakan adrenalin terkontrol, hanya saja melalui pengeluaran noradregenis dalam sambungan saraf. Basis ini untuk dibangun lagi, dan istilah yang dipakai seharusnya disetarakan. Seseorang juga harus memikirkan aspek konsentrasi pikiran dalam latihan ini—diketahui bahwa manusia dapat menjalankan tugas yang sangat sulit jika fokus maksimum diberikan; sehingga tidak baik jika istilah tenaga dalam disamakan dengan “Chi” atau “Qi Gong” yang memiliki unsur magis, tetapi lebih dalam melatih diri menuju tingkat tertentu untuk memenuhi tujuan tertentu. Keadaan “damai” yang telah diubah, seperti yang dilaporkan oleh pengguna, yang mirip dengan istilah “high” yang dipakai pengguna narkoba, mungkin disebabkan peningkatan serum endocannabinoid yang dihasilkan dalam latihan. Denagn mempertimbangkan ini, dapat dikatakan Kateda, atau latihan Kixa, menawarkan solusi yang baik untuk hidup dalam damai, dalam keadaan sederhana, dapat memertahankan diri dari serangan luar, dan bahagia dengan keadaannya; skenario ini dapat dianggap ideal di kondisi yang lebih alami daripada masyarakat modern, walau dapat juga cocok dengan masyarakat dimana uang tidak jadi pikiran. Ketidakcocokan ini, dikarenakan fokus Kateda pada beladiri fisik dan kedamaian pikiran, dapat diperbaiki jika latihan Kateda memasukkan pengembangan intelektual guna menghadapi masyarakat modern. Pembukaan aula-aula tengah di berbagai lokasi menyisipkan program pendidikan yang termasuk aspek-aspek tersebut, juga yang sudah ada, dapat dilihat bahwa Kateda mendapat popularitas yang dipertahankan; akan tetapi pendekatan seperti ini harus pada awalnya diarahkan pada masyarakat yang berpikiran terbuka, seperti yang dapat ditemukan di Dunia Ketiga, dan dikenalkan dalam analogi ke pengenalan pendidikan kepada masyarakat yang lebih luas di Inggris dengan adanya sekolah umum pada tahun 1300an.

Latihan

Latihan biasanya dijalankan sekali atau dua kali seminggu dan bertempat di kelas bercampur pada semua tingkat keahlian, yang dipimpin oleh sabuk hitam atau yang lebih tinggi. Murid berlatih gerakan dasar 1 sampai 10, sederet gerakan kombinasi 11 sampai 20, dan Tenaga Dalam.

Bebearapa mengaku merasakan “high” seperti yang dialami oleh pengguna obat keras dalam latihan. Ini mungkin disebabkan oleh aliran endorfin yang diciptakan oleh latihan yang keras.

Seseorang hanya dapat membayangkan hasil jika latihan beban digabung oleh latihan kixa pada kekuatan fisik yang dicapai.

Bertarung

Walau Kateda adalah seni beladiri yang cukup agresif dengan penekanan yang terlihat pada pendatang baru seperti pertahanan fisik ektrim dalam segala bentuk, pertarungan tidak berperan dalam Beladiri Kateda dibawah sabuk hitam. Murid di atas sabuk hitam melakukan pertarungan dengan mengalirkan Tenaga Dalam ke kaki. Ini dilaksanakan di bawah pengawasan ketat hanya sekali setelah orang tersebut telah mengembangkan mental yang damai dan menunjukkan kontrol terhadap amarah dan agresi. Hanya pada saat ini murid-murid diperbolehkan menggabungkan Tenaga Dalam dan gerakan beladiri.

Grandtraining

Kateda menyelenggarakan Grandtraining, yang berupa acara latihan akhir pekan yang intensif. Melalui ini, murid-murid melaksanakan latihan Tenaga Dalam dan beladiri intensif. Pemegang-tingkat diharapkan mendobrak batas mereka dan tidak tidur, menjalankan latihan Tenaga Dalam dengan sungguh-sungguh yang berguna menghangatkan mereka. Kondisi dibuat begitu dasarnya dan sedikit makanan dibagikan, karena ini hendak menyamakan kondisi keras Tibet dimana Kateda dikembangkan beribu tahun yang lalu.

Buku Kateda

Nasution menulis buku berbahasa Inggris yang berjudul “Kateda” yang dicetak di pertengahan tahun 1980an. Buku ini sekarang sangat jarang ditemukan dan menjelaskan berbagai aspek tenaga dalam, juga meletakkan ide Kekuatan Perdamaian Dunia Baru. Tidak diketahui apakah buku ini adalah terjemahan buku asli yang ditemukan Tagashi atau seberapa asli karya ini.

Cerita Akhir

Pada akhirnya tidak jelas kemana catatan akhir kunci yg telah ditemukan ini, beredar kabar dibawa oleh pasukan Chakra BIrawa. Yg menyebarkan di Minahasa lalu berakhir ditempat persembunyian di Bolaang Monggondow.

Sep 22, 2012

1347683648461817620

Siapa yang tidak cemas kalau melihat anak remaja dan masih berstatus siswa SMP dan SMA mempelajari ilmu kebal? Apa yang sebenarnya mereka cari dengan ilmu kebal itu?


Kamis (13/9), terjadi pembongkaran lokasi yang ditengarai sebagai tempat “mandi kabal” (isitilah populer masyarakat setempat) di Perkebunan Kameya dan Pinawelaan Kakaskasen Tomohon. Lokasi itu dikenal sebagai lokasi Galian C. Pembongkaran itu dilakukan oleh aparat keamanan Kapolsek Tomohon Utara, kerjasama dengan tokoh agama, masyarakat setempat dan pihak Koramil.


lokon malaikat
MANADO, KOMPAS.com - Letusan Gunung Lokon yang terjadi pada Jumat (21/09/2012) pukul 18.10 WITA menyisahkan sebuah fenomena alam yang marak beredar melalui foto di berbagai jejaring media sosial. Awan hasil erupsi yang mengagetkan warga Tomohon dan Manado tersebut berupa sebuah sosok yang menyerupai malaikat.

Bentuk awan tersebut menarik perhatian banyak orang, karena sangat terlihat jelas dari arah Kota Manado. "Bentuknya persis malaikat yang sedang terbang di langit," ujar Hermondo Kasiadi, warga Manado yang juga mahasiswa STIEPAR Manado.

"Mungkin ini merupakan pertanda baik, bahwa Tuhan tidak akan membiarkan kota Manado dan Tomohon yang diberkati terkena bencana yang dahsyat," timpal Sasmitha Handayani yang turut mengabadikan fenomena tersebut melalui kamera selularnya.

Tidak hanya Hermondo dan Sasmitha, hampir semua pengguna gadget yang dilengkapi dengan kamera tidak ketinggalan mengabadikan kejadian tersebut.

"Cuaca kota Manado sedang cerah dan pada jam itu banyak warga yang sedang keluar rumah, jadi letusannya banyak menarik perhatian," ujar Maya Decline.

Foto-foto awan menyerupai sosok malaikat itu sejak Jumat malam hingga Sabtu (22/09/2012) ini marak beredar di berbagai jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, dan juga lewat broadcasting 

Blackberry.
Gunung Lokon di Tomohon pada Jumat (21/09) sempat dua kali meletus, pada pagi hari dan kembali meletus pada sore hari. Letusan kali ini bahkan diakui lebih dahsyat dari letusan yang terjadi pada 2011 lalu. Beberapa daerah disekitar Gunung Lokon dihujani abu vulkanis.
Editor :
Farid Assifa
http://regional.kompas.com/read/2012/09/22/16114720/Rupa.Awan.Erupsi.Lokon.Ini.Hebohkan.Warga.Manado

Sep 3, 2012

Pada waktu sekelompok leluhur masyarakat Bantik asal Selatan tumani dan bermukim di suatu tempat yang bernama Kaho (selokan Tirang) antara Maumbi dan Kairagi, mereka kemudian pindah ke Pogidon Wenang) dan selanjutnya bergerak kearah Utara, dan tumani di Singkil, Bailang, Buha, dan Bengkol. Dalam kelompok ini, terdapat sepasang suami-istri tanpa memiliki keturunan yang pekerjaannya sehari-hari sebagai Balrian Lramo (Walian besar=tukang mengobati secara tradisional).

Suami bernama Tolrombiga dan istrinya bernama Hagi. Keduanya sangat terkenal sebagai ahli pengobatan tradisonal (makatana) apalagi sebagai Biang (bidan yang menunggui dan mengurus kelahiran seorang bayi) yang terkenal di kalangan masyarakat Bantik. Bila ada orang yang datang memanggil Hagi untuk menolong orang melahirkan maka Hagi selalu berkata pada sipemanggil itu: kembalilah lebih dulu dan nanti disusulnya.

Tapi anehnya, Biang Hagi akan selalu tiba lebih dulu sebelum sipemanggil tiba dirumah orang yang akan melahirkan itu. Rupanya suami-istri ini mempunyai banyak sahabat sosok halus sebagai penolong dalam menjalankan tugas mereka sebagai Balrian Lramo.

make up6Pada suatu hari, Hagi kelihatan hamil dan datanglah sosok halus kepada Tolrombiga dan meminta agar, bila anaknya lahir agar anak itu diberikan kepada sosok halus tadi untuk dipeliharanya, sang suami tidak keberatan. Setelah genap usia kandungan Hagi, lahirlah laki-laki yang hanya tangisnya saja yang kedengaran tapi bayinya sudah tidak ada lagi, dan mengertilah sang suami bahwa anaknya sudah dijemput sosok halus tadi.

Akan hal Hagi bila ada orang bertanya mana anaknya maka Hagi menjawab bahwa ia mengalami keguguran (kinadaen) dan bayinya hilang. Konon bayi itu dipelihara sosok halus dengan diberi makan jantung pisang tanduk (sejenis pisang yang buahnya besar-besar, berbentuk tanduk kerbau) oleh sebab itu jika melihat jantung pisang tersebut, keadaan seperti dicakar-cakar kuku, kata orang karena dicakar sosok halus tadi bila membuat makanan bayi tadi. Konon kebiasaan orang Bantik bila ingin melihat makhluk halus, carilah pohon pisang tanduk yang jantungnya hampir keluar dan tunggulah dibawah pohon itu.

Bila sosok halus datang mengambil makananya, niscaya akan bertemu dengan sosok halus, asal berani untuk bertemu menemuinya, apalagi berada dibawah pohon itu dan kedengaranlah tangisan bayi maka pasti akan bertemu dengan sosok halus. Disitulah anda boleh berdialog dengan sosok halus dan boleh memohon atau meminta sesuatu. Sudah tentu sosok halus itu akan mencobai anda lebih dulu setelah anda tahan uji atas cobaan itu barulah pinta anda akan terkabul.

Demikianlah anak itu dipelihara oleh sosok halus sampai menginjak masa remaja umur 18 tahun, lalu dikembalikan kepada ibu-bapanya di Buha dan diberi nama Matansing berasal dari kata Tumansing meloncat tinggi/seperti terbang). Selanjutnya dalam umur 20 tahun, Matansing turut mengambil bagian dalam perang Banten.

Ceritra rakyat tentang Matansing berlangsung pada tahun 1770-an, dimana masyarakat Bantik yang mendiami kawasan Benang (Wenang) dipimpin oleh Kepala Walak Abuthan. Kisah ini terjadi pada jaman kolonialisme Belanda menguasai tanah Minahasa dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Tatkala kepala balak Bantik Abuthan sedang memimpin kelompok masyarakat Bantik di Wenang, tersiarlah berita bagaimana orang-orang Banten di pulau Jawa mengangkat senjata melawan Kompeni Belanda.Huru-hara pemberontakan rakyat Banten sangat menggegerkan Batavia yang waktu itu dipimpin oleh Gubernur-Jenderal Riemsdyk.

Secara masal rakyat Banten mengangkat senjata dan lakukan serangan atas pos-pos tentara kolonialisme di Batavia. Pemerintahan Riemsdyk terganggu karena tentara Belanda jumlahnya sangat kurang dan tidak dapat mengimbangi perjuangan rakyat Banten. Maka pemerintah Belanda di Batavia menyurat pada koleganya di Ternate dan Minahasa untuk meminta bantuan dari warga masyarakat yang ada di sana.

Dijejakilah bantuan dari Ternate dimana di sana juga terdapat sebagian tentara Belanda dan warga setempat dimana mereka diminta datang berkumpul di Pogidon (Wenang) untuk kemudian berangkat bersama ke Pulau Jawa dengan armada laut. Di Minahasa bantuan terutama dikerahkan dari orang-orang Bantik yang berdomisili di Tomohon dan Tondano. Yang di Tondano dipimpin oleh Tonaas Sigaha (Sigar) dan di Tomohon dipimpin oleh Tonaas Dotulong.

Kepala balak Abuthan selaku pemimpin masyarakat Bantik di wilayah Wenang, segera meresponi permintaan kolonial Belanda di Wenang dengan melakukan plakat di beberapa negeri orang Bantik yang terdapat di: Titiwungen, Singkil, Bailang, Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Molas, Meras, Malalayang, dan Bahu. Mereka bersedia dan menyatakan kerelaan untuk mengambil bagian dalam perang Banten tersebut, yang sebetulnya merupakan siasat kaum penjajah untuk mengadu-domba masyarakat pribumi.

Tersebutlah seorang laki-laki bernama Matansing dari negeri Buha datang menghadap kepala balak Abuthan. Setelah Abuthan bertanya perihal kesanggupan dan kebolehannya, maka Matansing menjawab: Ia Po ada tumondo Mabukuan galrete be mabei, age nu pai pinakou” (artinya: kalau saya pergi ke medan laga, selalu kembali dengan kemenangan dan membawa bukti atas kemenangan itu). Dengan demikian Matansing salah seorang pendekar Bantik yang akan berangkat ke pulau Jawa untuk turut berperang membantu Belanda dan bantuan dari Ternate, Minahasa dan Bantik telah musta’id semuanya berkumpul di Wenang dan jumlahnya 3000 (tiga ribu) orang pimpinan bala bantuan itu ialah Tonaas Sigar dan Dotulong yang terkenal sangat pemberani.

Pengaturan persiapan selesai dan pasukan dipersilahkan naik ke kapal untuk berangkat. Selesai diadakan apel maka berlayarlah kapal-kapal itu dengan haluan pertama pulau Manado Tua, tiga hari dalam pelayaran dan pada hari keempat, anehnya..... kapal-kapal itu kembali berlabuh di pelabuhan Wenang. Setiba di pelabuhan Wenang kepada pasukan ditanyakan oleh nahkoda kapal, siapakah di antaranya melupakan sesuatu di rumahnya.

Masing-masing segera berdiri dan mengacungkan tangan sambil mengatakan bahwa sayalah yang melupakan sesuatu itu. Setelah ia melapor untuk pergi sebentar kerumah, waktu itu masih keadaan pagi jam anak-anak pergi sekolah.

Gaiblah ia, hilang dari pandangan mata mereka. Patut diakui oleh orang-orang Bantik karena peninggalan riwayat pedangnya pun masih ada di negeri Bengkol pada cucu, cece, cicit, buyutnya pusaka kesaktian membuktikan ini. Beberapa lama antaranya pada jam makan siang hampir tengah hari tiba-tiba bergetarlah kapal yang tadi-tadinya ditumpangi Matansing yang berada di atas kapal, ditangannya terpegang sebuah bungkusan Kumunou (daun woka) dan sebuah Lrimpudong (sosiru) lalu melaporkan pada nahkoda kapal siap sudah ada di tempat, bertanya Kapten Nahkoda Kapal. Apakah yang kau bawa itu? Jawabnya ini ada tempat makan pinang. Yang terbungkus daun woka itu, perangkat empat sirih pinang sebagai biasanya yang dipakai oleh orang Bantik bila akan makan sirih.

Keberadaan kembali Matansing di atas kapal, berarti saat keberangkatan sudah tiba. Maka berangkatlah armada Belanda dan bala bantuan itu.
 
Angin kencang dari belakang menyebabkan layar kapal-kapal itu berkembang dengan megah. Semalam-malaman, siang dan paginya mereka berlayar dan tiba di pelabuhan Donggala pagi hari. Kapal-kapal berlabuh untuk mengambil air minum (air tawar) di darat. Setelah diketahui oleh Matansing bahwa maksud kapal-kapal itu singgah di pelabuhan Donggala hanya karena untuk mengambil air tawar, maka turunlah Matansing melalui tangga kapal dengan membawa nyiru yang dibawanya dari rumah tadi. Dikoyakkannya bagian dalam nyiru itu dan dicelupkannya bagian kaki dalam nyiru ajaib itu yang tinggal lingkaran rotan bagian luarnya saja. Maka terjadilah keanehan di pelabuhan Donggala! Air laut dalam lingkaran rotan itu menjadi air tawar. Ramailah seluruh petugas kapal menimba air tawar untuk mengisi tong pada kapal masing-masing, sesuai kebutuhan dari lingkaran rotan ajaib itu. Pelayaran dilanjutkan beberapa lama, dalam pelayaran masuklah mereka di pelabuhan Serang (Banten) dengan selamat dan berkat.
 
Pada saat itu pelabuhan Banten bergelora sangat hebatnya sehingga pendaratan dilakukan dengan menggunakan sekoci-sekoci pendarat. Oleh karena di darat telah berjaga-jaga pasukan Banten, maka perang besar tak terelakan lagi. Serta merta perang besar terus berkecamuk dan berkobar sangat hebatnya. Bunyi tembakan, tetakan pedang, baku potong dan baku bunuh sudah tak terkendalikan lagi. Bagian perang yang dahsyat berlangsung antara tahun 1775-1780. Bagaimana dengan Matansing, ia ketinggalan dan masih berada di atas kapal, ia menjadi gelisah, hilir mudik di atas kapal.
 
Ia segera mengambil keputusan dengan berdiri siap masuk ke mulut meriam kapal. Tatkala meriam berdantum dengan arah tembakan kedarat......... gaiblah pula ia pada saat genting itu.

Alkisah menurut cerita ia melayang bersama peluru meriam tadi, terbang dan jatuh di atas mahligani istana tempat bersemayam Raja Banten, sesampai di istana Matansing menjumpai pengawal Raja Banten yaitu tujuh orang laki-laki bermuka sangat menyeramkan mempunyai anting atau bertopeng seperti babi hutan besar, jadi Matansing harus berhadapan lebih dulu dengan para pengawal itu sebelum tiba pada Raja.

Pada saat itu melayanglah Matansing ke atas pohon aren dan duduk di atas pelepahnya hingga bergegerlah bumi karena tumbangnya pohon itu. Semuanya lalu menjadi gempar. Dari situ ia melayang ke pohon padi lalu duduk diatas butir buahnya berayun-ayun bersama tiupan angin. Selesai berayun di atas pohon padi itu sambil menyenangkan hatinya, melompatlah ia langsung berhadapan dengan ketujuh pendekar itu dan terjadilah perang satu lawan tujuh dengan seru dan seramnya. Matansing bertarung sambil melayang kian kemari di udara. Konon, pada akhirnya tewaslah ketujuh pengawal Raja tadi, terpisah kepala mereka dari badannya masing-masing.
 
Matansing segera menuju kepada Raja Banten didapatinya Raja sedang tidur nyenyak di tempat peraduannya. Tatkala Raja membuka mata, alangkah terkejutnya Raja dengan segera Matansing mencabut pedangnya dan tombak diayunkan sekali tepat kena leher Raja. Maka tewaslah Raja pada saat itu juga. Sebagai bukti kemenangan oleh Matansing kumis dan janggutnya serta kuku Raja, dikeratnya dan diambilnya untuk dibawah pulang. Selesai mengambil barang bukti itu, Matansing gaiblah dari kamar peraduan sang Raja itu. Tiba diluarnya dilihatnya ternyata perang telah berakhir.
Laskar Banten kalah dan Belanda menang.

Pendekar Sigar diberi pangkat Mayor dan pendekar Dotulong diberi pangkat Letnan-Kolonel lengkap dengan senjata dan pakaian kebesaran. Mereka yang masih hidup kembali ke Wenang setelah menjalankan tugas membantu Belanda berperang dengan Banten. Sebagaimana kita pelajari dari sejarah, bahwa perang Banten itu di kobarkan oleh KYAI TAPA dan Ratu Bagus Buang dan diteruskan oleh Sultan Abdul Nazar, Muhammad Arif, Zainul Asyikin tahun 1752-1780 Adapun cerita Ambon bahwa yang turut berperang dan mengalahkan Raja Banten adalah Kapitan Jongker yang namanya termasyur itu.
 
Kembali tentang Matansing sesampainya di Wenang ia langsung menghadap Kepala Balak Abuthan dan melaporkan kemenangannya sambil membawa bukti berupa janggut, kumis, serta kuku Raja yang dikalahnya sebagaimana yang telah diceritakan tadi. Percayalah Abuthan atas kebolehan Matansing, ia dibawa oleh Abuthan menghadap Residen TANROLF. Oleh Residen Tanrolf, Matansing diberi hadiah dan piagam ditulis atas kertas kulit yang berbunyi: selama penjajahan Belanda di Minahasa, maka anak-cucu dari keturunannya bebas dari pungutan uang sekolah kalau mereka bersekolah.

Kemudian Matansing kembali sebagai petani dan berkebun di antara negeri Singkil dan Buha (disuatu tempat yang disebut kelapa lima). Sekali peristiwa datanglah seorang putra Raja Sulawesi Selatan, Bugis bernama anak Raja HASSANUDDIN menumpang kora-kora bersama anak buahnya. Ia datang memamerkan ketangkasan, kesaktian dan keajaibannya dan ingin mencari lawan, siapa kalangan di Utara Sulawesi ini yang sanggup menandinginya. Untuk menguji kesaktiannya diwujudkan dalam mengadu ayam sabungan.

Maka kedatanganlah berita kedatangan tamu-tamu ini kepada Matansing yang segera ingin dengan mengadu ayam sabungan lebih dahulu. Ayam sabungan anak Raja Bugis berbulu hitam berkaki hitam sedangkan ayam jago milik Matansing berbulu putih sampai kakinya. Persabungan yang seru dimulai dan semua orang Bantik datang menonton
.
Begitu serangan kedua ayam sabungan itu bersiaga dan akhirnya…….. menanglah ayam sabungan milik Matansing. Putra Raja dari Sulawesi Selatan berseru: “Ayam sabungannya yang kalah belum tentu orangnya kalah” Matansing naik dan keduanya menyiapkan diri untuk bertarung, duel maut satu lawan satu keduanya bermufakat dan tempat yang akan dijadikan arena laga ialah lembah diantara gunung Bantik dan gunung Tumpa (Tumumpa). Karena keduanya sama saktinya maka duel maut itu banyak berlangsung di udara. Sama hebat, sama cerdik, dan sama jago.

Alkisah maka terbanglah Matansing awan gunung Bantik dan putra Raja Bugis terbang pula dari gunung Tumpa, lalu sesaat kemudian duel udara yang serupun berlangsung. Pertarungan babak pertama selelsai karena mereka beristirahat. Kemudian dilanjutkan dengan pergantian tempat. Duel maut babakan kedua dimulai, Matansing melayang terbang melalui gunung Tumpa dan lawannya sebagai anak panah lepas dari busurnya melayang dari gunung Bantik, Matansing yang melihat musuhnya sangat sukar dikalahkan itu, setiba bertukaran tempat di Tumpa, lalu mengambil tali hutan (”bahahing”) untuk dibuat jerat. Tali buatan itu dilemparkan Matansing ke arah musuhnya dan terjeratlah di leher putra Raja itu sekaligus tergantunglah di udara, maka Matansing mengambil parangnya dan memancung leher musuhnya.
 
Badannya jatuh ke Bumi, disusul dengan kepalanya yang masih terikat dengan tali hutan tadi. Melihat musuhnya telah kalah, Matansing mengambil mayat musuhnya lalu diterbangkan ke kebunnya di kelapa lima. Disana mayat itu dikuburkan Matansing lalu ditandai dengan ditanamkannya di tempat itu lima pohon kelapa, sehingga tempat itu biasa disebut ”kelapa lima”.

Hingga muat riwayat ini ditulis, diantaranya negeri Singkil dan Buha terdapat kelapa Matansing (tempat tersebut disebut kelapa lima) kelapanya memang sudah tidak ada lagi, tetapi tanah dan bekasnya masih ada. Tahun demi tahun berlalu sampai Matansing telah berusia tua, ia mulai jatuh sakit di negeri Buha, tetapi bila ada orang datang menjenguknya, kadangnya tidak diketemukan hanya tempat tidurnya saja. Lama-kelamaan, pada saat mautnya tiba, hilanglah ia entah kemana tak diketahui rimbanya. Ia pergi dan tak seorangpun mengetahuinya.

Kata orang, ia kembali ke Kayangan sebagaimana cerita kita pada bagian-bagian lain, seperti kisah negeri Balruda itu. Pedang dan tombak milik Matansing, masih ada di negeri Bantik. Demikianlah riwayat Matansing yang menurut tutur orang ia menjelma menjadi dewa, sedang tutur orang lain ia menjelma menjadi jin atau makhluk halus. Untuk lebih melengkapi riwayat tentang Matansing alangkah baiknya kalau diutarakan pula disini sedikit tentang asal-usul dan siapakah Matansing yang mengemarakan sejarah anak suku Bantik. (dikisahkan kembali oleh J. Koapaha, edited Jeldy Tontey)